Ralat atas Siaran Pers Nomor: KT.25/K.5/BKW II/KSA.02.01/B/08/2025 yang sebelumnya menyebutkan bahwa jenis burung hasil sitaan dan yang telah dilepasliarkan kembali adalah kacamata jawa (Zosterops flavus). Berdasarkan identifikasi lanjutan oleh tim BBKSDA NTT bersama para ahli, disimpulkan bahwa burung tersebut adalah kacamata laut (Zosterops chloris).
Kupang, 22 Agustus 2025
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur menyampaikan ralat terhadap Siaran Pers Nomor: KT.25/K.5/BKW II/KSA.02.01/B/08/2025, yang sebelumnya menyebutkan bahwa jenis burung hasil sitaan dan yang telah dilepasliarkan kembali adalah kacamata jawa (Zosterops flavus). Berdasarkan hasil identifikasi lanjutan oleh tim teknis BBKSDA NTT bersama para ahli, dengan mempertimbangkan aspek morfologis dan distribusi geografis, maka jenis burung tersebut dinyatakan sebagai kacamata laut (Zosterops chloris).
Adapun pertimbangan identifikasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
- Paruh berwarna gelap, menyerupai karakteristik kacamata jawa, namun bukan ciri utama yang membedakan kedua jenis;
- Warna kekang atau area sekitar mata berwarna hitam pekat, yang merupakan ciri khas kacamata laut;
- Cincin putih di sekitar mata (kacamata) terlihat tebal dan mencolok, lebih sesuai dengan kacamata laut;
- Warna tunggir atau bagian belakang tubuh tampak lebih terang, mendukung identifikasi sebagai kacamata laut;
- Distribusi geografis juga menjadi faktor penting: kacamata jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa dan Kalimantan, sedangkan kacamata laut memiliki sebaran yang luas termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Dengan demikian, burung hasil sitaan yang telah dilepasliarkan adalah kacamata laut (Zosterops chloris), bukan kacamata jawa (Zosterops flavus) sebagaimana tertulis sebelumnya.
Meskipun kacamata laut tidak termasuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, namun pemanfaatan dan peredarannya tetap tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, khususnya:
- Pasal 63 ayat (1) dan (2), serta
- Pasal 64 ayat (2),
ditegaskan bahwa pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan/atau satwa liar yang tidak dilindungi tetap memerlukan dokumen resmi. Setiap tindakan pengiriman tanpa dokumen, penyimpangan dari syarat, ketidakpatuhan terhadap kewajiban, atau pemalsuan dokumen dapat dikenakan sanksi hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai tindak penyelundupan dan/atau percobaan perusakan lingkungan hidup.
Sanksi yang dapat dikenakan antara lain:
- Denda administratif paling banyak sebesar Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah);
- Pencabutan izin usaha yang bersangkutan; dan
- Tumbuhan dan satwa liar yang terlibat dalam pelanggaran tersebut dapat diperlakukan sama seperti jenis yang dilindungi, yakni DIRAMPAS UNTUK NEGARA.
Oleh karena itu, BBKSDA NTT mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan pengangkutan, perdagangan, atau kepemilikan satwa liar, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, tanpa dokumen resmi, sebagai bentuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan komitmen bersama menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
Demikian siaran pers ini disampaikan sebagai bentuk komitmen terhadap akurasi data, transparansi informasi, dan penegakan hukum lingkungan hidup di wilayah Nusa Tenggara Timur. Atas kekeliruan sebelumnya, kami menyampaikan permohonan maaf, dan mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungan semua pihak dalam upaya pelestarian alam dan satwa liar di Indonesia.
Penanggung jawab berita:
Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA NTT
Joko Waluyo, S.Hut. 0821-4747-6075